Kamis, September 03, 2009

Hakikat Cinta yana Sejati Kepada Nabi SAW (Bag-3)

Adapun golongan yang meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang lalai dalam merealisasikan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak memperhatikan hak-hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan di atas. Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya dengan meyakini kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup untuk merealisasikan cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo tentang ke-ma’shum-an (dilindunginya) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu, sehingga perlu untuk dikritisi. Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Islam Liberal & Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla dkk, hal 9-10). Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa diterapkan di segala zaman, sehingga harus “bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru, yang digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan “fiqih klasik tidak mampu lagi menampung perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan agama-agama.” (Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis Madjid dkk, hal: ix). Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ulah Koran Denmark “Jyllands-Posten”, pada hari Sabtu, 26 Sya’ban 1426/30 September 2005, dengan memuat karikatur penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum, amien. Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang menggambarkan beraneka ragamnya kekurangan banyak orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam dalam merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang itu semua bermuara pada penyakit tidak dijadikannya Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam mengukur kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw, yaitu mereka yang berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta mereka kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga mereka mengada-adakan amalan-amalan yang sama sekali tidak disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh salafush shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-amalan tersebut merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara sikap ekstrem yang mereka tampakkan; berlebihan dalam mengagung-agungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga menyifatinya dengan sifat-sifat yang merupakan hak prerogatif Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini adalah apa yang ada dalam “Qashidah al-Burdah” yang sering disenandungkan dalam acara peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ العَمِمِ … فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ “Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)! Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang musibah yang besar… Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian kedermawananmu, dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam” (Tabrid al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal: 56). La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita diperintahkan untuk memohon perlindungan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika tertimpa musibah?? (Lihat: QS. Al An’am: 17 dan At Taghabun: 11). Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber dari Allah semata?! Kalau bukan kenapa kita selalu berdo’a: “Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah…” ?? Terus kalau ilmu lauh mahfudz dan ilmu qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas apa yang tersisa untuk Robb kita Allah subhanahu wa ta’ala??!! Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un… Di antara amalan yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah merayakan peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai sudah menjadi budaya, hingga timbul semacam ketakutan moral diasingkan dari arena sosial jika tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa berdosa jika tidak turut menyukseskannya. Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pernah diperintahkan oleh Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakannya? Atau mungkin salah seorang dari generasi Tabi’in atau Tabi’it Tabi’in pernah merayakannya? Kenapa pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk diajukan? Karena merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kabarkan bahwa perpecahan serta bid’ah akan menjamur setelah masa mereka berlalu. Ditambah lagi merekalah orang-orang yang paling sempurna dalam merealisasikan kecintaan kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan bahwa acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekalipun dirayakan pada masa tiga generasi awal umat ini, banyak sekali para ulama kita yang menegaskan hal ini. Di antara para ulama yang menjelaskan bahwa Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah dikerjakan pada masa-masa itu: Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany, sebagaimana yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid lihat al-Hawi lil Fatawa (I/302). Al-Hafidz Abul Khair as-Sakhawy, sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad bin Yusuf ash-Shalihy dalam Subul al-Huda wa ar-Rasyad fi Sirati Khairi al-’Ibad (I/439). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim (I/123). Ibnul Qayyim, dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in (II/390-391). Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8. Al-Imam Abu Zur’ah al-Waqi, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Muhammad bin ash-Shiddiq dalam kitabnya Tasynif al-Adzan, hal: 136. Ibnu al-Haj, dalam kitabnya al-Madkhal (II/11-12, IV/278). Abu Abdillah Muhammad al-Hafar, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi dalam kitabnya al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ulama Ifriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib (VII/99-100). Muhammad Abdussalam asy-Syuqairi, dalam kitabnya as-Sunan wa al-Mubtada’at al-Muta’alliqah bi al-Adzkar wa ash-Shalawat, hal: 139. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128. Lantas siapakah dan kapankah maulid pertama kali diadakan? Maulid pertama kali dirayakan pada abad ke empat hijriah (kurang lebih empat ratus tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) oleh seorang yang bernama al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, salah seorang raja Kerajaan al-Ubaidiyah al-Fathimiyah yang mengikuti paham sekte sesat Bathiniyah (Lihat kesesatan-kesesatan mereka dalam kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid al-Ghazali, dan Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar, karya al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani). Sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama. Di antara para ulama yang mengungkapkan fakta ini: Al-Imam al-Muarrikh Ahmad bin Ali al-Maqrizi asy-Syafi’i (w 766 H), dalam kitabnya al-Mawa’idz wa al-I’tibar fi Dzikri al-Khuthathi wa al-Atsar (I/490). Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8. Ahmad bin Ali Al-Qalqasyandi asy-Syafi’i (w 821), dalam kitabnya Shubh al-A’sya fi Shiyaghat al-Insya’ (3/502). Hasan As-Sandubi dalam kitabnya Tarikh al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, hal: 69. Muhammad Bakhit al-Muthi’i (mufti Mesir di zamannya) dalam kitabnya Ahsan al-Kalam fima Yata’allaqu bi as-Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam, hal: 59. Ismail bin Muhammad al-Anshari, dalam kitabnya al-Qaul al-Fashl fi Hukm al-Ihtifal bi Maulid Khair ar-Rusul shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal: 64. Ali Mahfudz, dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madhar al-Ibtida’, hal: 126. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128. Ali al-Jundi, dalam kitabnya Nafh al-Azhar fi Maulid al-Mukhtar, hal: 185-186. Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan ini? Berhubung mereka telah melakukan pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah, dan mendirikan negara sendiri di Mesir dan Syam yang mereka namai Al Fathimiyah, maka kaum muslimin di Mesir dan Syam tidak suka melihat tingkah laku mereka, serta cara mereka dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga pemerintah kerajaan itu (Bani Ubaid) merasa khawatir akan digulingkan oleh rakyatnya. Maka dalam rangka mengambil hati rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi mengadakan acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ditambah dengan maulid-maulid lain seperti maulid Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid-maulid lainnya. Termasuk perayaan Isra Mi’raj dan perayaan tahun Hijriah. Hingga para ulama zaman itu berjibaku untuk mengingkari bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para ulama abad kelima dan abad keenam. Pada awal abad ketujuh kebiasaan buruk itu mulai menular ke Irak, lewat tangan seorang sufi yang dijuluki al-Mula Umar bin Muhamad, kemudian kebiasaan itu mulai menyebar ke penjuru dunia, akibat kejahilan terhadap agama dan taqlid buta. Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu adalah rekayasa politis untuk melanggengkan kekuasaan bani Ubaid, dan bukan sama sekali dalam rangka merealisasikan kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun kepada ahlul bait!! (Al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, hal: 5). Hal lain yang perlu kita ketahui adalah hakikat akidah orang-orang yang pertama kali mengadakan perayaan maulid ini. Dan itu bisa kita ketahui dengan mempelajari hakikat kerajaan Bani Ubaid. Bani Ubaid adalah keturunan Abdullah bin Maimun al-Qaddah yang telah terkenal di mata para ulama dengan kekufuran, kemunafikan, kesesatan dan kebenciannya kepada kaum mukminin. Lebih dari itu dia kerap membantu musuh-musuh Islam untuk membantai kaum muslimin, banyak di antara para ulama muslimin dari kalangan ahli hadits, ahli fikih maupun orang-orang shalih yang ia bunuh. Hingga keturunannya pun tumbuh berkembang dengan membawa pemikirannya, di mana ada kesempatan mereka akan menampakkan permusuhan itu, jika tidak memungkinkan maka mereka akan menyembunyikan hakikat kepercayaannya (Lihat: Ar-Raudhatain fi Akhbar ad-Daulatain, Abu Syamah asy-Syafi’i, (I/198), Mukhtashar al-Fatawa lil Ba’li, hal: 488). Adapun hakikat orang yang pertama kali mengadakan maulid yaitu al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, maka dia adalah orang yang gemar merangkul orang-orang Yahudi dan Nasrani, kebalikannya kaum muslimin dia kucilkan, dialah yang mengubah lafadz azan menjadi “Hayya ‘ala khairil ‘amal”. Yang lebih parah lagi, dia turut merangkul paranormal dan memakai ramalan-ramalan mereka (Lihat: Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi XXVI/350, an-Nujum az-Zahirah fi Muluk al-Mishr wa al-Qahirah karya Ibnu Taghribardi IV/75). Inilah hakikat asal sejarah maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah diukur dengan merayakan hari kelahiran beliau atau tidak merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya? Apakah kita juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk membuktikan kecintaan kita kepada mereka? Kalau begitu berapa miliar dana yang harus dikeluarkan? Bukankah lebih baik dana itu untuk membangun masjid, madrasah, shadaqah fakir miskin dan maslahat-maslahat agama lainnya? Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini, sampai-sampai orang yang senantiasa berusaha menegakkan akidah yang benar, rajin sholat lima waktu di masjid, dan terus berusaha untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya, tidak dikatakan mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid. Sebaliknya setiap orang yang mau ikut maulid, entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul adha dan idul fitri), atau dia masih gemar maksiat, dikatakan cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan dalam bersikap? Semoga kita semua termasuk orang-orang yang merealisasikan kecintaan yang hakiki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohon maaf atas segala kekurangan. Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. *** Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc.Artikel www.muslim.or.id

Hakikat Cinta yana Sejati Kepada Nabi SAW (Bag-2)

Pahala Bagi Orang yang Mencintai Nabi SAW Tentunya cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan suatu ibadah yang amat besar pahalanya. Banyak ayat-ayat Al Quran maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan ganjaran yang akan diperoleh seorang hamba dari kecintaan dia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara dalil-dalil tersebut: Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat, “Kapankah kiamat datang?” Nabi pun shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang (di hari kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan engkau akan bersama yang engkau cintai.” Anas pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia daripada mendengarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.’” Anas kembali berkata, “Aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, maka aku berharap akan bisa bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada mereka, meskipun aku sendiri belum (bisa) beramal sebanyak amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [X/557 no: 6171] dan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya [2385]) Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya di surga kelak?? Hakikat Cinta Pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Ragam Manusia di Dalamnya Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa potret cinta para sahabat kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ganjaran yang akan diraih oleh orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada perkara yang amat penting untuk kita ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu: bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?, bagaimanakah seorang muslim mengungkapkan rasa cintanya kepada al-Habib al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apa saja yang harus direalisasikan oleh seorang muslim agar dia dikatakan telah mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Masalah ini perlu kita angkat, karena di zaman ini banyak orang yang menisbatkan diri mereka ke agama Islam mengaku bahwa mereka telah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang mengaku telah merealisasikan sesuatu, dapat diterima pengakuannya? Ataukah kita harus melihat dan menuntut darinya bukti-bukti bagi pengakuannya? Tentunya alternatif yang kedua-lah yang seyogyanya kita ambil. Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Golongan yang berlebih-lebihan. Golongan yang meremehkan. Golongan tengah. Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ini senantiasa menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan mereka dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush shalih) dalam mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena salafush shalih adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’in), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’it tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [V/258-259, no: 2651], dan Muslim dalam Shahih-nya [IV/1962, no: 2533]) Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain: a. Meyakini bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya, tidak berdusta maupun didustakan. Juga beriman bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang paling akhir, penutup para nabi. Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pengakuannya adalah dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal 56). b. Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Allah menegaskan, وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7) c. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, karena berita-berita itu adalah wahyu yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala. وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى “Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4) d. Beribadah kepada Allah dengan tata-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21) Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan, “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718). e. Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setingkat dengan syari’at yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dari segi keharusan untuk mengamalkannya, karena apa yang disebutkan di dalam As Sunnah, serupa dengan apa yang disebutkan di dalam Al Quran (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 138). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya): مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ “Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80) f. Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Beliau masih hidup, dan membela ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghafal, memahami dan mengamalkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga menghidupkan sunnahnya dan menyebarkannya di masyarakat. g. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya. Sebagaimana kisah yang dialami oleh Umar di atas, akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa cinta kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membawa kita untuk bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya. Sebagaimana halnya perbuatan sebagian orang yang membersembahkan ibadah-ibadah yang seharusnya dipersembahkan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dia persembahkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya: ber-istighatsah (meminta pertolongan) dan memohon kepadanya, meyakini bahwa beliau mengetahui semua perkara-perkara yang ghaib, dan lain sebagainya. Jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrem ini, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah (bahwa aku): hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [VI/478 no: 3445]) h. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-orang yang dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl [II/573], Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah [III/407], untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi [I/344-358]), serta setiap orang yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih dalam kerangka mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban untuk memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang yang menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah. (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, [2/575], untuk pembahasan lebih lanjut silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi [I/359-361]).

Hakikat Cinta yang Sejati Kepada Nabi SAW (Bag-1)

Hukum Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak, demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [XI/523] no: 6632) Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69]) Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di atas, yang menekankan wajibnya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang muslim tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -tentunya setelah kecintaan kepada Allah- atas kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak dan seluruh manusia. Potret Kecintaan Para Sahabat Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Bicara masalah cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa diragukan lagi adalah orang terdepan dalam perealisasian kecintaan mereka kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab cinta dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan, dan para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan paling mengetahui kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mengherankan jika cinta mereka kepada Beliau jauh lebih besar dan lebih dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang sesudah mereka. Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu kejadian yang terekam dalam sejarah yaitu: Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb -sebelum ia masuk Islam- dengan sahabat Zaid bin ad-Datsinah rodhiallahu ‘anhu ketika beliau tertawan oleh kaum musyrikin lantas dikeluarkan oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan berkata, “Ya Zaid, maukah posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid menimpali, “Demi Allah, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir [V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah [III/326]). Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, “Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan tangisan di penjuru kota Madinah. Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah jalan dia diberitahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang. Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ. Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.” Maka perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!” (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid [VI/115], dan dia berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan aku tidak mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.” Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [II/72, 332]). Demikianlah sebagian dari potret kepatriotan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Janganlah Berburuk Sangka Kepada Allah

Para pembaca yang budiman, perlu untuk kita ketahui bersama bahwa Alloh adalah Dzat yang maha sempurna, baik dari Nama, Sifat maupun perbuatan-Nya. Tidak ada satupun aib atau cela yang terdapat pada Alloh. Sebagai bentuk realisasi tauhid, kita dilarang mengingkari nama dan sifat yang telah ditetapkankan oleh Alloh Ta’ala. Kita wajib percaya dan menerima sesuatu yang telah ditetapkan Alloh kepada para hambaNya. Segala Sesuatu Diciptakan Dengan Hikmah Alloh menciptakan langit dan bumi beserta isinya, semuanya tentu mengandung hikmah yang agung dan tidak dalam rangka kesia-siaan. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah (hanya sia-sia saja). Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka…” (Ash-Shood: 27). Termasuk tatkala Alloh memberikan manfaat (kebaikan) atau suatu mudhorot (musibah) pada seseorang, tentunya hal ini juga mengandung hikmah yang agung di dalamnya. Untuk itu kita harus selalu berhusnuzhon (berprasangka baik) terhadap segala sesuatu yang telah Alloh tetapkan kepada para hamba-Nya agar kita termasuk orang-orang yang beruntung. Rahasia di Balik Musibah Para pembaca yang budiman, tidaklah Alloh menimpakan suatu musibah kepada para hambaNya yang mu’min kecuali untuk tiga hal: 1. Mengangkat derajat bagi orang yang tertimpa musibah, karena kesabarannya terhadap musibah yang telah Alloh tetapkan. 2. Sebagai cobaan bagi dirinya. 3. Sebagai pelebur dosa, atas dosanya yang telah lalu. Su’udzon Itu Tercela Su’udzon (berprasangka buruk) pada Alloh merupakan sifat tercela yang harus dijauhi dari diri setiap orang yang beriman karena hal ini merupakan salah satu dari dosa besar. Sikap seperti ini juga merupakan kebiasaan orang-orang kafir dan munafiq. Mereka berprasangka kepada Alloh dengan prasangka yang buruk dan mengharapkan kekalahan dan kehancuran kaum muslimin. Akan tetapi Alloh membalik tipu daya mereka serta mengancam mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan akhirat. Alloh berfirman yang artinya, “Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Alloh. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Alloh memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.” (Al-Fath: 6) Adzab dunia yang akan diterima oleh orang kafir dan munafiq adalah berupa keresahan dan kegelisahan yang melanda hati mereka tatkala melihat keberhasilan kaum muslimin. Adapun adzab akhirat, mereka akan mendapatkan murka Alloh serta dijauhkan dari rahmat Alloh dan dimasukkan ke dalam neraka jahannam yang merupakan sejelek-jelek tempat kembali. Berprasangka buruk pada Alloh merupakan bentuk cemooh atau ingkar pada takdir Alloh, Misalnya dengan mengatakan “Seharusnya kejadiannya begini dan begitu.” Atau ucapan, “Kok rejeki saya akhir-akhir ini seret terus ya? Lagi apes memang…” serta bentuk ucapan-ucapan yang lain. Banyak orang berprasangka buruk pada Alloh baik yang berkaitan dengan dirinya sendiri maupun orang lain. Tidak ada yang dapat menghindar dari prasangka buruk ini kecuali bagi orang-orang yang memahami nama dan sifat Alloh. Maka sudah selayaknya bagi orang yang berakal dan mau membenahi diri, hendaklah ia memperhatikan permasalahan ini dan mau bertobat serta memohon ampun terhadap prasangka buruk yang telah ia lakukan. Jauhi Prasangka Buruk Kepada Alloh Sikap berburuk sangka merupakan sikap orang-orang jahiliyah, yang merupakan bentuk kekufuran yang dapat menghilangkan atau mengurangi tauhid seseorang. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Alloh seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: ‘Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Alloh.’ Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.’ Katakanlah: ‘Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.’ Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (Ali-Imran: 154) Perlu untuk kita ketahui bersama, berprasangka buruk kepada Alloh dapat terjadi pada tiga hal, yaitu: 1. Berprasangka bahwa Alloh akan melestarikan kebatilan dan menumbangkan al haq (kebenaran). Hal ini sebagaimana persangkaan orang-orang musyrik dan orang-orang munafik. Alloh berfirman yang artinya, “Tetapi kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya (terbunuh dalam peperangan, pen) dan syaitan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa.” (Al-Fath: 12) Perbuatan seperti ini tidak pantas ditujukan pada Alloh karena tidak sesuai dengan hikmah Alloh janji-Nya yang benar. Inilah prasangka orang-orang kafir dan Neraka Wail-lah tempat mereka kembali. 2. Mengingkari Qadha’ dan Qadar Alloh yaitu menyatakan bahwa ada sesuatu yang terjadi di alam ini yang di luar kehendak Alloh dan taqdir Alloh. Seperti pendapat Sekte Qodariyah. 3. Mengingkari adanya hikmah yang sempurna dalam taqdir Alloh. Sebagaimana pendapat Sekte Jahmiyah dan Sekte Asy’ariyah. Iman dan tauhid seorang hamba tidak akan sempurna sehingga ia membenarkan semua yang dikabarkan oleh Alloh, baik berupa nama dan sifat-sifat-Nya, kesempurnaan-Nya serta meyakini dan membenarkan janji-Nya bahwa Dia akan menolong agama ini Untuk itu sekali lagi marilah kita instropeksi diri, apakah kita termasuk orang yang seperti ini (orang gemar berprasangka buruk pada Alloh) sehingga kita dijauhkan dari surga Alloh yang kekal? Kita berdo’a kepada Alloh agar menjauhkan kita semua dari berprasangka buruk kepadaNya. Wallohu a’lam. *** Penulis: Abu Farhan Wali Sabara Artikel www.muslim.or.id

Agar Taubat Diterima

Memang manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun manusia yang terbaik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan dosa sama sekali, akan tetapi manusia yang terbaik adalah manusia yang ketika dia berbuat kesalahan dia langsung bertaubat kepada Alloh dengan sebenar-benar taubat. Bukan sekedar tobat sesaat yang diiringi niat hati untuk mengulang dosa kembali. Lalu bagaimanakah agar taubat seorang hamba itu diterima? Syarat Taubat Diterima Agar taubat seseorang itu diterima, maka dia harus memenuhi tiga hal yaitu: (1) Menyesal, (2) Berhenti dari dosa, dan (3) Bertekad untuk tidak mengulanginya. Taubat tidaklah ada tanpa didahului oleh penyesalan terhadap dosa yang dikerjakan. Barang siapa yang tidak menyesal maka menunjukkan bahwa ia senang dengan perbuatan tersebut dan menjadi indikasi bahwa ia akan terus menerus melakukannya. Akankah kita percaya bahwa seseorang itu bertaubat sementara dia dengan ridho masih terus melakukan perbuatan dosa tersebut? Hendaklah ia membangun tekad yang kuat di atas keikhlasan, kesungguhan niat serta tidak main-main. Bahkan ada sebagian ulama yang menambahkan syarat yang keempat, yaitu tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut. sehingga kapan saja seseorang mengulangi perbuatan dosanya, jelaslah bahwa taubatnya tidak benar. Akan tetapi sebagian besar para ulama tidak mensyaratkan hal ini. Tunaikan Hak Anak Adam yang Terzholimi Jika dosa tersebut berkaitan dengan hak anak Adam, maka ada satu hal lagi yang harus ia lakukan, yakni dia harus meminta maaf kepada saudaranya yang bersangkutan, seperti minta diikhlaskan, mengembalikan atau mengganti suatu barang yang telah dia rusakkan atau curi dan sebagainya. Namun apabila dosa tersebut berkaitan dengan ghibah (menggunjing), qodzaf (menuduh telah berzina) atau yang semisalnya, yang apabila saudara kita tadi belum mengetahuinya (bahwa dia telah dighibah atau dituduh), maka cukuplah bagi orang telah melakukannya tersebut untuk bertaubat kepada Alloh, mengungkapkan kebaikan-kebaikan saudaranya tadi serta senantiasa mendoakan kebaikan dan memintakan ampun untuk mereka. Sebab dikhawatirkan apabila orang tersebut diharuskan untuk berterus terang kepada saudaranya yang telah ia ghibah atau tuduh justru dapat menimbulkan peselisihan dan perpecahan diantara keduanya. Nikmat Dibukanya Pintu Taubat Apabila Alloh menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Alloh bukakan pintu taubat baginya. Sehingga ia benar-benar menyesali kesalahannya, merasa hina dan rendah serta sangat membutuhkan ampunan Alloh. Dan keburukan yang pernah ia lakukan itu merupakan sebab dari rahmat Alloh baginya. Sampai-sampai setan akan berkata, “Duhai, seandainya aku dahulu membiarkannya. Andai dulu aku tidak menjerumuskannya kedalam dosa sampai ia bertaubat dan mendapatkan rahmat Alloh.” Diriwayatkan bahwa seorang salaf berkata, “Sesungguhnya seorang hamba bisa jadi berbuat suatu dosa, tetapi dosa tersebut menyebabkannya masuk surga.” Orang-orang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Dia menjawab, “Dia berbuat suatu dosa, lalu dosa itu senantiasa terpampang di hadapannya. Dia khawatir, takut, menangis, menyesal dan merasa malu kepada Robbnya, menundukkan kepala di hadapan-Nya dengan hati yang khusyu’. Maka dosa tersebut menjadi sebab kebahagiaan dan keberuntungan orang itu, sehingga dosa tersebut lebih bermanfaat baginya daripada ketaatan yang banyak.” *** Penulis: Abu Hudzaifah YusufArtikel www.muslim.or.id

Rabu, April 09, 2008

Istri Shalihah, Keutamaan dan Sifat-Sifatnya

Istri Shalihah, Keutamaan dan Sifat-SifatnyaApa yang sering diangankan oleh kebanyakan laki-laki tentang wanita yang bakal menjadi pendamping hidupnya? Cantik, kaya, punya kedudukan, karir bagus, dan baik pada suami. Inilah keinginan yang banyak muncul. Sebuah keinginan yang lebih tepat disebut angan-angan, karena jarang ada wanita yang memiliki sifat demikian. Kebanyakan laki-laki lebih memperhatikan penampilan dzahir, sementara unsur akhlak dari wanita tersebut kurang diperhatikan. Padahal akhlak dari pasangan hidupnya itulah yang akan banyak berpengaruh terhadap kebahagiaan rumah tangganya.

Seorang muslim yang shalih, ketika membangun mahligai rumah tangga maka yang menjadi dambaan dan cita-citanya adalah agar kehidupan rumah tangganya kelak berjalan dengan baik, dipenuhi mawaddah wa rahmah, sarat dengan kebahagiaan, adanya saling ta‘awun (tolong menolong), saling memahami dan saling mengerti. Dia juga mendamba memiliki istri yang pandai memposisikan diri untuk menjadi naungan ketenangan bagi suami dan tempat beristirahat dari ruwetnya kehidupan di luar. Ia berharap dari rumah tangga itu kelak akan lahir anak turunannya yang shalih yang menjadi qurratu a‘yun (penyejuk mata) baginya. Demikian harapan demi harapan dirajutnya sambil meminta kepada Ar-Rabbul A‘la (Allah Yang Maha Tinggi) agar dimudahkan segala urusannya.

Namun tentunya apa yang menjadi dambaan seorang muslim ini tidak akan terwujud dengan baik terkecuali bila wanita yang dipilihnya untuk menemani hidupnya adalah wanita shalihah. Karena hanya wanita shalihah yang dapat menjadi teman hidup yang sebenarnya dalam suka maupun lara, yang akan membantu dan mendorong suaminya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya dalam diri wanita shalihah tertanam aqidah tauhid, akhlak yang mulia dan budi pekerti yang luhur. Dia akan berupaya ta‘awun dengan suaminya untuk menjadikan rumah tangganya bangunan yang kuat lagi kokoh guna menyiapkan generasi Islam yang diridhai Ar-Rahman.

Sebaliknya, bila yang dipilih sebagai pendamping hidup adalah wanita yang tidak terdidik dalam agama1 dan tidak berpegang dengan agama, maka dia akan menjadi duri dalam daging dan musuh dalam selimut bagi sang suami. Akibatnya rumah tangga selalu sarat dengan keruwetan, keributan, dan perselisihan.Istri seperti inilah yang sering dikeluhkan oleh para suami, sampai-sampai ada di antara mereka yang berkata:

“Aku telah berbuat baik kepadanya dan memenuhi semua haknya namun ia selalu menyakitiku.”

Duhai kiranya wanita itu tahu betapa besar hak suaminya, duhai kiranya dia tahu akibat yang akan diperoleh dengan menyakiti dan melukai hati suaminya… Namun dari mana pengetahuan dan kesadaran itu akan didapatkan bila dia jauh dari pengajaran dan bimbingan agamanya yang haq? Wallahu Al-Musta‘an.

Keutamaan Wanita Shalihah

Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan2 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu:“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya3, bila diperintah4 akan mentaatinya5, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417.

Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”) Berkata Al-Qadhi ‘Iyyadh rahimahullah:Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya bahwa tidak berdosa mereka mengumpulkan harta selama mereka menunaikan zakatnya, beliau memandang perlunya memberi kabar gembira kepada mereka dengan menganjurkan mereka kepada apa yang lebih baik dan lebih kekal yaitu istri yang shalihah yang cantik (lahir batinnya) karena ia akan selalu bersamamu menemanimu. Bila engkau pandang menyenangkanmu, ia tunaikan kebutuhanmu bila engkau membutuhkannya. Engkau dapat bermusyawarah dengannya dalam perkara yang dapat membantumu dan ia akan menjaga rahasiamu. Engkau dapat meminta bantuannya dalam keperluan-keperluanmu, ia mentaati perintahmu dan bila engkau meninggalkannya ia akan menjaga hartamu dan memelihara/mengasuh anak-anakmu.” (‘Aunul Ma‘bud, 5/57)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pula bersabda:Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (istri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas/ lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban dalam Al-Mawarid hal. 302, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57 dan Asy-Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 282)

Ketika Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, harta apakah yang sebaiknya kita miliki?”Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang senantiasa berdzikir dan istri mukminah yang akan menolongmu dalam perkara akhirat.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah no. 1505)

Cukuplah kemuliaan dan keutamaan bagi wanita shalihah dengan anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi lelaki yang ingin menikah untuk mengutamakannya dari yang selainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang punya agama, engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)

Empat hal tersebut merupakan faktor penyebab dipersuntingnya seorang wanita dan ini merupakan pengabaran berdasarkan kenyataan yang biasa terjadi di tengah manusia, bukan suatu perintah untuk mengumpulkan perkara-perkara tersebut, demikian kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah. Namun dzahir hadits ini menunjukkan boleh menikahi wanita karena salah satu dari empat perkara tersebut, akan tetapi memilih wanita karena agamanya lebih utama. (Fathul Bari, 9/164)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: maknanya: yang sepatutnya bagi seorang yang beragama dan memiliki muruah (adab) untuk menjadikan agama sebagai petunjuk pandangannya dalam segala sesuatu terlebih lagi dalam suatu perkara yang akan tinggal lama bersamanya (istri). Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mendapatkan seorang wanita yang memiliki agama di mana hal ini merupakan puncak keinginannya.” (Fathul Bari, 9/164)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: Dalam hadits ini ada anjuran untuk berteman/bersahabat dengan orang yang memiliki agama dalam segala sesuatu karena ia akan mengambil manfaat dari akhlak mereka (teman yang baik tersebut), berkah mereka, baiknya jalan mereka, dan aman dari mendapatkan kerusakan mereka. (Syarah Shahih Muslim, 10/52)

Sifat-sifat Istri Shalihah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Wanita (istri) shalihah adalah yang taat lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada dikarenakan Allah telah memelihara mereka.” (An-Nisa: 34)

Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan di antara sifat wanita shalihah adalah taat kepada Allah dan kepada suaminya dalam perkara yang ma‘ruf6 lagi memelihara dirinya ketika suaminya tidak berada di sampingnya.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata: Tugas seorang istri adalah menunaikan ketaatan kepada Rabbnya dan taat kepada suaminya, karena itulah Allah berfirman: Wanita shalihah adalah yang taat, yakni taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.Yakni taat kepada suami mereka bahkan ketika suaminya tidak ada (sedang bepergian,), dia menjaga suaminya dengan menjaga dirinya dan harta suaminya. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal.177)

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi permasalahan dengan istri-istrinya sampai beliau bersumpah tidak akan mencampuri mereka selama sebulan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Jika sampai Nabi menceraikan kalian,7 mudah-mudahan Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian, muslimat, mukminat, qanitat, taibat, ‘abidat, saihat dari kalangan janda ataupun gadis. (At-Tahrim: 5)

  1. Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan beberapa sifat istri yang shalihah yaitu:a. Muslimat: wanita-wanita yang ikhlas (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala), tunduk kepada perintah Allah ta‘ala dan perintah Rasul-Nya.
  2. Mukminat: wanita-wanita yang membenarkan perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala)
  3. Qanitat: wanita-wanita yang taat
  4. Taibat: wanita-wanita yang selalu bertaubat dari dosa-dosa mereka, selalu kembali kepada perintah (perkara yang ditetapkan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun harus meninggalkan apa yang disenangi oleh hawa nafsu mereka.
  5. ‘Abidat: wanita-wanita yang banyak melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan mentauhidkannya karena semua yang dimaksud dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an adalah tauhid, kata Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma).
  6. Saihat: wanita-wanita yang berpuasa. (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/126-127, Tafsir Ibnu Katsir, 8/132)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan: Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” (HR. Ahmad 1/191, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 660, 661)

Dari dalil-dalil yang telah disebutkan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa sifat istri yang shalihah adalah sebagai berikut:

  1. Mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mempersembahkan ibadah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
  2. Tunduk kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, terus menerus dalam ketaatan kepada-Nya dengan banyak melakukan ibadah seperti shalat, puasa, bersedekah, dan selainnya.Membenarkan segala perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  3. Menjauhi segala perkara yang dilarang dan menjauhi sifat-sifat yang rendah.
  4. Selalu kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertaubat kepada-Nya sehingga lisannya senantiasa dipenuhi istighfar dan dzikir kepada-Nya. Sebaliknya ia jauh dari perkataan yang laghwi, tidak bermanfaat dan membawa dosa seperti dusta, ghibah, namimah, dan lainnya.
  5. Menaati suami dalam perkara kebaikan bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melaksanakan hak-hak suami sebaik-baiknya.
  6. Menjaga dirinya ketika suami tidak berada di sisinya. Ia menjaga kehormatannya dari tangan yang hendak menyentuh, dari mata yang hendak melihat, atau dari telinga yang hendak mendengar. Demikian juga menjaga anak-anak, rumah, dan harta suaminya.

Sifat istri shalihah lainnya bisa kita rinci berikut ini berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan setelahnya:

  1. Penuh kasih sayang, selalu kembali kepada suaminya dan mencari maafnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.(HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)
  2. Melayani suaminya (berkhidmat kepada suami) seperti menyiapkan makan minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang semacamnya.
  3. Menjaga rahasia-rahasia suami, lebih-lebih yang berkenaan dengan hubungan intim antara dia dan suaminya. Asma’ bintu Yazid radhiallahu ‘anha menceritakan dia pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu kaum lelaki dan wanita sedang duduk. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: Barangkali ada seorang suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan apa yang diperbuatnya bersama suaminya? Maka mereka semua diam tidak ada yang menjawab.Aku (Asma) pun menjawab: Demi Allah! Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya, demikian pula mereka (para suami). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jangan lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu seperti syaithan jantan yang bertemu dengan syaitan betina di jalan, kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya. (HR. Ahmad 6/456, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Adabuz Zafaf (hal. 63) menyatakan ada syawahid (pendukung) yang menjadikan hadits ini shahih atau paling sedikit hasan)
  4. Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di hadapan suaminya sehingga bila suaminya memandang akan menyenangkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya”. (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)
  5. Ketika suaminya sedang berada di rumah (tidak bepergian/safar), ia tidak menyibukkan dirinya dengan melakukan ibadah sunnah yang dapat menghalangi suaminya untuk istimta‘ (bernikmat-nikmat) dengannya seperti puasa, terkecuali bila suaminya mengizinkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal bagi seorang istri berpuasa (sunnah) sementara suaminya ada (tidak sedang bepergian) kecuali dengan izinnya”. (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
  6. Mensyukuri pemberian dan kebaikan suami, tidak melupakan kebaikannya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang kufur. Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak mensyukuri) kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik kepada seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku tidak pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda: Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur kepada suaminya padahal dia membutuhkannya.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 289)
  7. Bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak menolaknya tanpa alasan yang syar‘i, dan tidak menjauhi tempat tidur suaminya, karena ia tahu dan takut terhadap berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.” (HR. Muslim no.1436)“Apabila seorang istri bermalam dalam keadaan meninggalkan tempat tidur suaminya, niscaya para malaikat melaknatnya sampai ia kembali (ke suaminya).” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 1436)

Demikian yang dapat kami sebutkan dari keutamaan dan sifat-sifat istri shalihah, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufik kepada kita agar dapat menjadi wanita yang shalihah, amin.

  1. Atau ia belajar agama namun tidak mengamalkannya
  2. Tempat untuk bersenang-senang (Syarah Sunan An-Nasai oleh Al-Imam As-Sindi rahimahullah, 6/69)
  3. Karena keindahan dan kecantikannya secara dzahir atau karena bagusnya akhlaknya secara batin atau karena dia senantiasa menyibukkan dirinya untuk taat dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Ta‘liq Sunan Ibnu Majah, Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitabun Nikah, bab Afdhalun Nisa, 1/596, ‘Aunul Ma‘bud, 5/56)
  4. Dengan perkara syar‘i atau perkara biasa (‘Aunul Ma‘bud, 5/56)
  5. Mengerjakan apa yang diperintahkan dan melayaninya (‘Aunul Ma‘bud, 5/56)
  6. Bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.
  7. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui bahwasanya Nabi-Nya tidak akan menceraikan istri-istrinya (ummahatul mukminin), akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan kepada ummahatul mukminin tentang kekuasaan-Nya, bila sampai Nabi menceraikan mereka, Dia akan menggantikan untuk beliau istri-istri yang lebih baik daripada mereka dalam rangka menakuti-nakuti mereka.

Ini merupakan pengabaran tentang qudrah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ancaman untuk menakut-nakuti istri-istri Nabi ?, bukan berarti ada orang yang lebih baik daripada shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/126) dan bukan berarti istri-istri beliau tidak baik bahkan mereka adalah sebaik-baik wanita.

Al-Qurthubi rahimahullah berkata: Permasalahan ini dibawa kepada pendapat yang mengatakan bahwa penggantian istri dalam ayat ini merupakan janji dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seandainya beliau menceraikan mereka di dunia Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menikahkan beliau di akhirat dengan wanita-wanita yang lebih baik daripada mereka.” (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/127)

Siksa Bagi Kaum Wanita

AMIRUL Mukminin Ali bin Abi Thalib menuturkan sebagai berikut. Suatu hari, aku dan penghulu kaum wanita semesta alam, Sayyidah Fathimah al-Zahra datang menemui kekasih Allah, yaitu Rasulullah saw. Aku melihat pribadi agung itu menangis tersedu-sedu. Aku bertanya kepada beliau, “Ayah dan Ibuku menjadi penebusmu, wahai Rasulullah! Apa yang terjadi?! Apa yang membuatmu menangis?”

Beliau bersabda, “Wahai Ali, ketika naik ke langit pada malam Mikraj, aku menyaksikan kaum wanita dari umatku mengalami siksa pedih. Disebabkan siksa pedih itulah aku menangis dan meratap.”

Sayyidah Fatimah al-Zahra bertanya, “Apa yang ayah saksikan sehingga menimbulkan pengaruh seperti ini?!

Sang pembawa rahmat bagi alam semesta Rasulullah saw bersabda:

  1. Aku melihat seorang wanita digantung dengan rambutnya, sementara otaknya mendidih.
  2. Aku menyaksikan seorang wanita digantung dengan lidahnya dan air mendidih neraka jahanam dituangkan ke dalam mulutnya.
  3. Aku melihat seorang wanita yang di gantung dengan kedua payudaranya.
  4. Aku melihat seorang wanita yang tangan dan kakinya terikat, lalu dikerubuti oleh ular-ular dan kalajengking.
  5. Aku melihat seorang wanita yang menyayat daging tubuhnya sendiri, kemudian di paksa untuk memakannya, dan api menyembur dari lidahnya.
  6. Aku menyaksikanseorang wanita yang tuli, buta, dan bisu; ditempatkan dalam peti api neraka dan otaknya keluar dari kepala, serta sekujur tubuhnya terjangkiti kusta dan lepra.
  7. Aku melihat seorang wanit di gantung dengan ke dua kakiny di atas api menyala.
  8. Aku menyaksikan seorang wanita yang bagian depan dan belakang tubuhnya di potong-potong dengan gunting terbuat dari api neraka.
  9. Aku melihat seorang wanita yang tangan dan kakinya terbakar, sementara dia memakan ususnya.
  10. Aku menyaksikan seorang wanita yang kepalanya seperti kepala babi dan tubuhnya seperti tubuh keledai, serta di siksa dengan berbagai jenis siksaan.
  11. Aku melihat seorang wanita berwajah anjing dan api keluar dari bagian belakang tubuhnya, dan para malaikat menusuk kepala dan tubuhnya dengan besi terbuat dari api neraka. Sayyidah Fthimah al-Zahra berkata, “Wahai kekasih dan cahaya mataku! Wahai ayah tercinta, jelaskan padaku tentang apa yang telah dilakukan para wanita ini? Apa yang menyebabkan mereka menderita siksaan seperti itu dan apa jalan hidup mereka sehingga Allah yang Mahatinggi menyiksa mereka dengan siksa pedih?”

Sang pemimpin Islam, Nabi Muhammad saw bersabda:

  1. Adapun wanita yang digantung dengan rambutnya adalah wanita yang tidak menutup rambutnya dari pandangan pria bukan muhrim.
  2. Wanita digantung dengan lidahnya dan air mendidih neraka jahanam dituangkan ke dalam mulutnya adalah seorang istri yang menyakiti suaminya dengan lisan(ucapan)nya
  3. Wanita yang digantung dengan kedua payudaranya adalah seorang istri yang menolak tidur seranjang dengan suaminya.
  4. Wanita yang tangan dan kakinya terikat, lalu dikerubuti ular-ular dan kalajengking adalah seorang istri yang keluar rumah tanpa izin suaminya.
  5. Wanita yang menyayat daging tubuhnya, kemudian dipaksa untuk memakannya, dan api menyembur dari lidahnya adalah wanita yang menampakkan perhiasan dan memamerkan keindahan tubuhnya di hadapan pria asing.
  6. Wanita yang tuli, buta, danbisu; ditempatkan dalam peti api neraka dan otaknya keluar dari kepala, sertasekujur tubuhnya terjangkiti kusta dan lepra adalah seorang istri yang melahirkan anak dari hasil perbuatan zina dan mengkhianati suaminya (selingkuh-penerj.).
  7. Wanita yang digantung dengan kedua kakinya di atas api menyala-nyala adalah wanita yang tidak menjaga kesuciaan dan kebersihan. Di saat janabah dan bersih dari menstruasi tidak mandi wajib, serta enggan mengerjakan shalat.
  8. Wanita yang bagian depan dan belakang tubuhnya dipotong-potong dengan gunting terbuat dari api neraka adalah wanita yang menawarkan dirinya kepada para pria dengan cara yang bertentangan dengan syariat (pelacur-penerj.)
  9. Wanita yang tangan dan kakinya terbakar, sementara dia memakan ususnya sendiri adalah wanita yang menjadi mucikari.
  10. Wanita yang kepalanya seperti kepala babi dan tubuhnya seperti tubuh keledai, serta disiksa dengan berbagai jenis siksaan adalah wanita yang gemar mengadu-domba dan berkata dusta.
  11. Adapun wanita berwajah anjing dan api keluar dari bagian belakang tubuhnya, dan malaikat menusuk kepala dan tubuhnya dengan besi terbuat dari api neraka adalah wanita penyanyi (yaitu wanita yang membangkitkan birahi kaum pria dengan kelembutan suaranya).”

(EDS, Bogor, 5 Dhulhijjah 1428 H)

Peranan & Hak Istri Dalam Rumah Tangga (Bagian – 3 Tamat)

Oleh : Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Dalam kehidupan berumahtangga, seorang Muslim harus mengetahui dan memahami apa saja Hak Isteri Atas Suami.
Syari'at mewajibkan kepada suami untuk memenuhi kebutuhan isterinya yang berupa kebutuhan material seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan sebagainya, sesuai dengan kondisi masing- masing, atau seperti yang dikatakan oleh Al Qur'an "bil ma'ruf" (menurut cara yang ma'ruf/patut)
Namun, Syari'at tidak pernah melupakan akan kebutuhan-kebutuhan spiritual yang manusia tidaklah bernama manusia kecuali dengan adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut, sebagaimana kata seorang pujangga kuno: "Maka karena jiwamu itulah engkau sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu."
Bahkan Al Qur'an menyebut perkawinan ini sebagai salah satu ayat diantara ayat-ayat Allah di alam semesta dan salah satu nikmat yang diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Firman-Nya:
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar Rum: 21)
Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup bersuami isteri ialah ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang antara keduanya, yang semua ini merupakan aspek kejiwaan, bukan material. Tidak ada artinya kehidupan bersuami isteri yang sunyi dari aspek-aspek maknawi ini, sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan.
Dalam hal ini banyak suami yang keliru - padahal diri mereka sebenarnya baik - ketika mereka mengira bahwa kewajiban mereka terhadap isteri mereka ialah memberi nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, tidak ada yang lain lagi. Dia melupakan bahwa wanita (isteri) itu bukan hanya membutuhkan makan, minum, pakaian, dan lain-lain kebutuhan material, tetapi juga membutuhkan perkataan yang baik, wajah yang ceria, senyum yang manis, sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra, pergaulan yang penuh kasih sayang, dan belaian yang lembut yang menyenangkan hati dan menghilangkan kegundahan.
Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami isteri dan adab pergaulan diantara mereka yang kehidupan berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua itu. Diantara adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah itu ialah berakhlak yang baik terhadapnya dan sabar dalam menghadapi godaannya. Allah berfirman:
  • "... Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan cara yang ma'ruf (patut) ..., An Nisa': 19)
  • "... Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat." (An Nisa': 21 )
  • "... Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu ...." (An Nisa: 36)
Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "teman sejawat" dalam ayat di atas ialah isteri.
Imam Ghazali berkata, "Ketahuilah bahwa berakhlak baik kepada mereka (isteri) bukan cuma tidak menyakiti mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka, dan penyantun ketika mereka sedang emosi serta marah, sebagaimana diteladankan Rasulullah saw. Isteri-isteri beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi perkataan, bahkan pernah ada pula salah seorang dari mereka menghindari beliau sehari semalam.
Beliau pernah berkata kepada Aisyah, "Sungguh, aku tahu kalau engkau marah dan kalau engkau rela." Aisyah bertanya, "Bagaimana engkau tahu?" Beliau menjawab, "Kalau engkau rela, engkau berkata, 'Tidak, demi Tuhan Muhammad,' dan bila engkau marah, engkau berkata, 'Tidak, demi Tuhan Ibrahim.' Aisyah menjawab, "Betul, (kalau aku marah) aku hanya menghindari menyebut namamu."
Dari adab yang dikemukakan Imam Ghazali itu dapat ditambahkan bahwa disamping bersabar menerima atau menghadapi kesulitan isteri, juga bercumbu, bergurau, dan bermain-main dengan mereka, karena yang demikian itu dapat menyenangkan hati wanita. Rasulullah saw. biasa bergurau dengan isteri-isteri beliau dan menyesuaikan diri dengan pikiran mereka dalam bertindak dan berakhlak, sehingga diriwayatkan bahwa beliau ernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.
Umar r.a. - yang dikenal berwatak keras itu - pernah berkata, "Seyogyanya sikap suami terhadap isterinya seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada disisinya (keadaan yang sebenarnya) maka dia adalah seorang laki-laki."
Dalam menafsirkan hadits: "Sesungguhnya Allah membenci alja'zhari al-jawwazh," dikatakan bahwa yang dimaksud ialah orang yang bersikap keras terhadap isteri (keluarganya) dan sombong pada dirinya. Dan ini merupakan salah satu makna firman Allah: 'utul. Ada yang mengatakan bahwa lafal 'utul berarti orang yang kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya.
Keteladanan tertinggi bagi semua itu ialah Rasulullah saw. Meski bagaimanapun besarnya perhatian dan banyaknya kesibukan beliau dalam mengembangkan dakwah dan menegakkan agama, memelihara jama'ah, menegakkan tiang daulah dari dalam dan memeliharanya dari serangan musuh yang senantiasa mengintainya dari luar, beliau tetap sangat memperhatikan para isterinya. Beliau adalah manusia yang senantiasa sibuk berhubungan dengan Tuhannya seperti berpuasa, shalat, membaca Al-Qur'an, dan berzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena lamanya berdiri ketika melakukan shalat lail, dan menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.
Namun, sesibuk apa pun beliau tidak pernah melupakan hak-hak isteri-isteri beliau yang harus beliau penuhi. Jadi, aspek-aspek Rabbani tidaklah melupakan beliau terhadap aspek insani dalam melayani mereka dengan memberikan makanan ruhani dan perasaan mereka yang tidak dapat terpenuhi dengan makanan yang mengenyangkan perut dan pakaian penutup tubuh.
Dalam menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau dalam mempergauli isteri, Imam Ibnu Qayyim berkata: "Sikap Rasulullah saw. terhadap isteri-isterinya ialah bergaul dan berakhlak baik kepada mereka. Beliau pernah menyuruh gadis-gadis Anshar menemani Aisyah bermain. Apabila isterinya (Aisyah) menginginkan sesuatu yang tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila Aisyah minum dari suatu bejana, maka beliau ambil bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau letakkan mulut beliau di tempat mulut Aisyah tadi (bergantian minum pada satu bejana/tempat), dan beliau juga biasa makan kikil bergantian dengan Aisyah."
Beliau biasa bersandar di pangkuan Aisyah, beliau membaca Al Qur'an sedang kepala beliau berada di pangkuannya. Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh, beliau menyuruhnya memakai sarung, lalu beliau memeluknya. Bahkan, pernah juga menciumnya, padahal beliau sedang berpuasa.
Diantara kelemah-lembutan dan akhlak baik beliau lagi ialah beliau memperkenankannya untuk bermain dan mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang Habsyi ketika mereka sedang bermain di masjid, dia (Aisyah) menyandarkan kepalanya ke pundak beliau untuk melihat permainan orang-orang Habsyi itu. Beliau juga pernah berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan keluar dari rumah bersama-sama.
Sabda Nabi saw: "Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku." Apabila selesai melaksanakan shalat ashar, Nabi senantiasa mengelilingi (mengunjungi) isteri-isterinya dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba beliau pergi ke rumah isteri beliau yang pada waktu itu tiba giliran beliau untuk bermalam. Aisyah berkata, "Rasulullah saw. tidak melebihkan sebagian kami terhadap sebagian yang lain dalam pembagian giliran. Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu mendekati tiap-tiap isteri beliau tanpa menyentuhnya, hingga sampai kepada isteri yang menjadi giliran beliau, lalu beliau bermalam di situ." {Sumber : Zadul Ma'ad 1:78-79, terbitan Sunnah Muhammadiyyah )
Kalau kita renungkan apa yang telah kita kutip disini mengenai petunjuk Nabi saw. tentang pergaulan beliau dengan isteri-isteri beliau, kita dapati bahwa beliau sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka, dan mendekati mereka. Tetapi beliau mengkhususkan Aisyah dengan perhatian lebih, namun ini bukan berarti beliau bersikap pilih kasih, tetapi karena untuk menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih perawan dan karena usianya yang masih muda.
Beliau mengawini Aisyah ketika masih gadis kecil yang belum mengenal seorang laki-laki pun selain beliau. Kebutuhan wanita muda seperti ini terhadap laki-laki lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan kebutuhan disini bukan sekadar nafkah, pakaian, dan hubungan biologis saja, bahkan kebutuhan psikologis dan spiritualnya lebih penting dan lebih dalam daripada semua itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita lihat Nabi saw. selalu ingat aspek tersebut dan senantiasa memberikan haknya serta tidak pernah melupakannya meskipun tugas yang diembannya besar, seperti mengatur strategi dakwah, membangun umat, dan menegakkan daulah. "Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang bagus bagi kamu."
Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.

Peranan & Hak Istri Dalam Rumah Tangga (Bagian-2)

Oleh : Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Sebagai seorang Muslim dan Muslimah, dalam membina kehidupan berumahtangga kita tidak boleh bersikap malu dalam memahami ilmu agama, untuk menanyakan mengenai hubungan seksual antara suami-istri yang berdasarkan agama, yaitu jika si istri menolak ajakan suaminya dengan alasan yang dianggap tidak tepat atau tidak berdasar. Apakah ada penetapan dan batas-batas tertentu mengenai hal ini, serta apakah ada petunjuk-petunjuk yang berdasarkan syariat Islam untuk mengatur hubungan kedua pasangan, terutama dalam masalah seksual tersebut?
Aisyah r.a. telah memuji wanita Anshar, bahwa mereka tidak dihalangi sifat malu untuk menanyakan ilmu agama. Walaupun dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan haid, nifas, janabat, dan lain-lainnya, di hadapan umum ketika di masjid, yang biasanya dihadiri oleh orang banyak dan di saat para ulama mengajarkan masalah-masalah wudhu, najasah (macam-macam najis), mandi janabat, dan sebagainya.
Hal serupa juga terjadi di tempat-tempat pengajian Al-Qur'an dan hadis yang ada hubungannya dengan masalah tersebut, yang bagi para ulama tidak ada jalan lain, kecuali dengan cara menerangkan secara jelas mengenai hukum-hukum Allah dan Sunnah Nabi saw. dengan cara yang tidak mengurangi kehormatan agama, kehebatan masjid dan kewibawaan para ulama.
Hal itu sesuai dengan apa yang dihimbau oleh ahli-ahli pendidikan pada saat ini. Yakni, masalah hubungan ini, agar diungkapkan secara jelas kepada para pelajar, tanpa ditutupi atau dibesar-besarkan, agar dapat dipahami oleh mereka.
Sebenarnya, masalah hubungan antara suami-istri itu pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka, maka hendaknya memperhatikan dan menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan kesalahan dan kerusakan terhadap kelangsungan hubungan suami-istri. Kesalahan yang bertumpuk dapat mengakibatkan kehancuran bagi kehidupan keluarganya.
Agama Islam dengan nyata tidak mengabaikan segi-segi dari kehidupan manusia dan kehidupan berkeluarga, yang telah diterangkan tentang perintah dan larangannya. Semua telah tercantum dalam ajaran-ajaran Islam, misalnya mengenai akhlak, tabiat, suluk, dan sebagainya. Tidak ada satu hal pun yang diabaikan (dilalaikan).
  1. Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan dorongannya akan seksual, serta ditentangnya tindakan ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh karena itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak untuk selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi saw, yaitu menikah. Nabi saw. telah menyatakan sebagai berikut:"Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku lebih khusyu, kepada Allah daripada kamu, tetapi aku bangun malam, tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku."
  2. Islam telah menerangkan atas hal-hal kedua pasangan setelah pernikahan, mengenai hubungannya dengan cara menerima dorongan akan masalah-masalah seksual, bahkan mengerjakannya dianggap suatu ibadat. Sebagaimana keteranganNabi saw.: "Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala)." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh dengan istri akan mendapat pahala?" Rasulullah saw. menjawab, "Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakuknn pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak menghitung hal-hal yang baik."

Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang lebih agresif, tidak memiliki kesabaran dan kurang dapat menahan diri. Sebaliknya wanita itu bersikap pemalu dan dapat menahan diri.

Karenanya diharuskan bagi wanita menerima dan menaati panggilan suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis: "Jika si istri dipanggil oleh suaminya karena perlu, maka supaya segera datang, walaupun dia sedang masak." (H.r. Tirmidzi, dan dikatakan hadis Hasan). Dianjurkan oleh Nabi saw. supaya si istri jangan sampai menolak kehendak suaminya tanpa alasan, yang dapat menimbulkan kemarahan atau menyebabkannya menyimpang ke jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.

Nabi saw. telah bersabda: "Jika suami mengajak tidur si istri lalu dia menolak, kemudian suaminya marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat dia sampai pagi." (H.r. Muttafaq Alaih).

Keadaan yang demikian itu jika dilakukan tanpa uzur dan alasan yang masuk akal, misalnya sakit, letih, berhalangan, atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu, menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah swt. Adalah Tuhan bagi hamba-hambaNya Yang Maha Pemberi Rezeki dan Hidayat, dengan menerima uzur hambaNya. Dan hendaknya hambaNya juga menerima uzur tersebut.

Selanjutnya, Islam telah melarang bagi seorang istri yang berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya lebih diutamakan untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala puasa. Nabi saw. bersabda: "Dilarang bagi si istri (puasa sunnah) sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya." (H.r. Muttafaq Alaih).

Disamping dipeliharanya hak kaum laki-laki (suami) dalam Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga harus dipelihara dalam segala hal. Nabi saw. menyatakan kepada laki-laki (suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam.

Beliau bersabda: "Sesungguhnya bagi jasadmu ada hak dan hagi keluargamu (istrimu) ada hak."

Abu Hamid Al-Ghazali, ahli fiqih dan tasawuf? dalam kitab Ihya' mengenai adab bersetubuh, beliau berkata:"Disunnahkan memulainya dengan membaca Bismillahirrahmaanir-rahiim dan berdoa, sebagaimana Nabi saw. mengatakan: Ya Allah,jauhkanlah aku dan setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau berikan kepadaku'." Rasulullah saw. melanjutkan sabdanya,"Jika mendapat anak, maka tidak akan diganggu oleh setan."

Al-Ghazali berkata, "Dalam suasana ini (akan bersetubuh) hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan dan sebagainya; dan menutup diri mereka dengan selimut, jangan telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus memelihara suasana dan menyesuaikan diri, sehingga kedua pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas."Berkata Al-Imam Abu Abdullah Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma'aad Fie Haadii Khainrul 'Ibaad, mengenai sunnah Nabi saw. Dan keterangannya dalam cara bersetubuh. Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata:

Tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu ialah:

  1. Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan menurut takdir Allah.
  2. Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan terus.
  3. Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana kelak di surga.

Ditambah lagi mengenai manfaatnya, yaitu: Menundukkan pandangan, menahan nafsu, menguatkan jiwa dan agar tidak berbuat serong bagi kedua pasangan.

Nabi saw. telah menyatakan: "Yang aku cintai di antara duniamu adalah wanita dan wewangian."

Selanjutnya Nabi saw. bersabda: "Wahai para pemuda! Barangsiapa yang mampu melaksanakan pernikahan, maka hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan."

Kemudian Ibnul Qayyim berkata, "Sebaiknya sebelum bersetubuh hendaknya diajak bersenda-gurau dan menciumnya, sebagaimana Rasulullah saw. melakukannya."

Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam usaha mencari jalan baik tidak bersifat konservatif, bahkan tidak kalah kemajuannya daripada penemuan-penemuan atau pendapat masa kini. Yang dapat disimpulkan di sini adalah bahwa sesungguhnya Islam telah mengenal hubungan seksual diantara kedua pasangan, suami istri, yang telah diterangkan dalam Al-Qur'anul Karim pada Surat Al-Baqarah, yang ada hubungannya dengan peraturan keluarga.

Firman Allah swt.:

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa, bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu, Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah kamu, hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya ..." (Q.s. Al-Baqarah: 187).

Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai hubungan antara suami-istri, kecuali yang telah disebutkan, yaitu:

"Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." (Q.s. Al-Baqarah 187). Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu:

"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan takwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemuiNya. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman." (Q.s.Al-Baqarah: 222-223).

Maka, semua hadis yang menafsirkan bahwa dijauhinya yang disebut pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan saja. Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang. Pada ayat di atas disebutkan:

"Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan cara bagaimanapun kamu kehendaki." (Q.s. Al-Baqarah: 223).

Tidak ada suatu perhatian yang melebihi daripada disebutnya masalah dan undang-undang atau peraturannya dalam Al-Qur'anul Karim secara langsung, sebagaimana diterangkan di atas.

Peranan & Hak Istri Dalam Rumah Tangga (Bagian - 1)

Oleh : Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Berbicara mengenai hal ini, ayat Ar-rijalu qawammuna "alan nisa" biasanya dijadikan sebagai salah satu rujukan, karena ayat tersebut berbicara tentang pembagian kerja antara suami-istri. Memahami pesan ayat ini, mengundang kita untuk menggarisbawahi terlebih dahulu dua butir prinsip yang melandasi hak dan kewajiban suami-istri:
  1. Terdapat perbedaan antara pria dan wanita, bukan hanya pada bentuk fisik mereka, tetapi juga dalam bidang psikis. Bahkan menurut Dr. Alexis Carrel salah seorang dokter yang pernah meraih dua kali hadiah Nobel -perbedaan tersebut berkaitan juga dengan kelenjar dan darah masing-masing kelamin. Pembagian harta, hak, dan kewajiban yang ditetapkan agama terhadap kedua jenis manusia itu didasarkan oleh perbedaan-perbedaan itu.
  2. Pola pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak menjadikan salah satu pihak bebas dan tuntutan – minimal dari segi moral - untuk membantu pasangannya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan, "Bagi lelaki (suami) terhadap mereka (wanita/istri) satu derajat (lebih tinggi)."

Derajat lebih tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas dijelaskan oleh surat An-Nisa' ayat 34, yang menyatakan bahwa "lelaki (suami) adalah pemimpin terhadap perempuan (istri)." Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan hal yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama, serta merasa memiliki pasangan dan keluarga, Persoalan yang dihadapi suami-istri, muncul dari sikap jiwa manusia yang tercermin dari keceriaan atau cemberutnya wajah. Sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan dimana pun. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin yang melebihi kebutuhan suatu perusahaan yang sekadar bergelut dengan angka, dan bukannya dengan perasaaan serta diikat oleh perjanjian yang bisa diselesaikan melalui pengadilan. Hak kepemimpinan menurut Al-Quran seperti yang dikutip dari ayat di atas, dibebankan kepada suami. Pembebanan itu disebabkan oleh dua hal, yaitu:

  1. Adanva sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan dengan istri.
  2. Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota keluarganya.

Ibnu Hazm - seorang ahli hukum Islam - berpendapat bahwa wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suami dalam hal menyediakan makanan, menjahit, dan sebagainya. Justru sang suamilah yang berkewajiban menyiapkan pakaian jadi, dan makanan yang siap dimakan untuk istri dan anak-anaknya. Walaupun diakui dalam kenyataan terdapat istri-istri yang memiliki kemampuan berpikir dan materi melebihi kemampuan suami, tetapi semua itu merupakan kasus yang tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat umum.

Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa pembagian kerja ini tidak membebaskan masing-masing pasangan - paling tidak dari segi kewajiban moral - untuk membantu pasangannya dalam hal yang berkaitan dengan kewajiban masing-masing. Dalam hal ini Abu Tsaur, seorang pakar hukum Islam, berpendapat bahwa seorang istri hendaknya membantu suaminya dalam segala hal. Salah satu alasan yang dikemukakannya adalah bahwa Asma, putri Khalifah Abu Bakar, menjelaskan bahwasanya ia dibantu oleh suaminya dalam mengurus rumah tangga, tetapi Asma, juga membantu suaminya antara lain dalam memelihara kuda suaminya, menyabit rumput, menanam benih di kebun, dan sebagainya.

Tentu saja di balik kewajiban suami tersebut, suami juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. Suami wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran agama dan hak pribadi sang istri. Sedemikian penting kewajiban ini, sampai-sampai Rasulullah Saw. bersabda, "Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seseorang, niscaya akan kuperintahkan para istri untuk sujud kepada suaminya." Bahkan Islam juga melarang seorang istri berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya. Hal ini disebabkan karena seorang suami mempunyai hak untuk memenuhi naluri seksualnya.

Dapat ditambahkan bahwa Rasulullah Saw. menegaskan bahwa seorang istri memimpin rumah tangga dan bertanggung Jawab atas keuangan suaminya. Pertanggungjawaban tersebut terlihat dalam tugas-tugas yang harus dipenuhi, serta peran yang diembannya saat memelihara rumah tangga, baik dari segi kebersihan, keserasian tata ruang, pengaturan menu makanan, maupun pada keseimbangan anggaran. Bahkan pun istri ikut bertanggung jawab - bersama suami - untuk menciptakan ketenangan bagi seluruh anggota keluarga, misalnya, untuk tidak menerima tamu pria atau wanita yang tidak disenangi oleh sang suami. Pada tugas-tugas rumah tangga inilah Rasulullah Saw. membenarkan seorang istri melayani bersama suaminya tamu pria yang mengunjungi rumahnya.

Pada konteks inilah perintah Al-Quran harus dipahami agar para istri berada di rumah.

Firman Allah : waqarna fi buyutikunna (Dan tetaplah tinggal berdiam di rumah kalian) dalam surat Al-Ahzab ayat 33, menurut kalimatnya ditujukan untuk istri-istri Nabi kendati dapat dipahami sebagai acuan kepada semua wanita. Namun tidak berarti bahwa wanita harus terus-menerus berada di rumah dan tidak diperkenalkan keluar, melainkan mengisyaratkan bahwa tugas pokok yang harus diemban oleh seorang istri adalah memelihara rumah tangganya. Kesimpulannya, peranan seorang istri sebagai ibu rumah tangga adalah untuk menjadikan rumah itu sebagai sakan, yakni "tempat yang menenangkan dan menenteramkan seluruh anggotanya." Dan dalam konteks inilah Rasulullah Saw. menggarisbawahi sifat-sifat seorang istri yang baik yakni yang menyenangkan suami bila ia dipandang, menaati suami bila ia diperintah, dan ia memelihara diri, harta, dan anak-anaknya, bila suami jauh darinya.

Sebagai ibu, seorang istri adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, khususnya pada masa-masa balita. Memang, keibuan adalah rasa yang dimiliki oleh setiap wanita, karenanya wanita selalu mendambakan seorang anak untuk menyalurkan rasa keibuan tersebut. Mengabaikan potensi ini, berarti mengabaikan jati diri wanita. Pakar-pakar ilmu jiwa menekankan bahwa anak pada periode pertama kelahirannya sangat membutuhkan kehadiran ibu-bapaknya. Anak yang merasa kehilangan perhatian (misalnya dengan kelahiran adiknya) atau rnerasa diperlakukan tidak wajar, dengan dalih apa pun, dapat mengalami ketimpangan kepribadian.

Rasulullah Saw. pernah menegur seorang ibu yang merenggut anaknya secara kasar dari pangkuan Rasulullah, karena sang anak pipis, sehingga membasahi pakaian Rasul. Rasulullah bersabda, "Jangan engkau menghentikan pipisnya. (Pakaian) ini dapat dibersihkan dengan air tetapi apakah yang dapat menghilangkan kekeruhan dalam jiwa anak ini (akibat perlakuan kasar itu)? Para ilmuwan juga berpendapat bahwa, sebagian besar kompleks kejiwaan yang dialami oleh orang dewasa adalah akibat dampak negatif dari perlakuan yang dialaminya waktu kecil. Oleh karena itu, dalam rumah tangga dibutuhkan seorang penanggung jawab utama terhadap perkembangan jiwa dan mental anak, khususnya saat usia dini (balita). Disini pula agama menoleh kepada ibu, yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki sang ayah, bahkan tidak dimiliki oleh wanita-wanita selain ibu kandung seorang anak.